Beliau adalah Syekh Sufi dari Baghdad yang terkenal pada zamannya, yang
diakui sebagai “Bapak Psikologi dan Etika Sufi” yang menyatukan ilmu
syari’at dan hakikat.
Beliau tersohor berkat teorinya tentang hakikat jiwa manusia.
Julukannya, “Al-Muhasibi” mengacu pada amalan muhasaba yang dilakoninya,
yakni melakukan perhitungan dan pemeriksaan atas segala tindakan, motif
dan keadaan spiritual dirinya sendiri. Beliau adalah salah satu perumus
teori etika Sufistik yang amat teliti. Teori jiwanya ditulis dalam
kitabnya yang terkenal, Al-Riaya li-Huquq Allah wa al-Qiyam Biha.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah al-Harits ibn Asad al-Bashri
al-Muhasibi. Beliau lahir di Bashrah pada 165 H atau 781 M. Sewaktu
kecil beliau pindah ke Baghdad. Beliau mendalami ilmu hadits, ilmu
kalam, tafsir dan bergaul dengan ulama-ulama besar pada zaman itu.
Sebagai ahli hadits beliau menyusun kitab hadits, namun tulisan beliau
di bidang ini dikritik keras oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab
Hanbali. Imam Hanbal mengkritiknya karena Syekh Al-Muhasibi banyak
menggunakan hadits dengan perawi yang lemah, dan karena Syekh
Al-Muhasibi juga mendukung penggunaan penalaran dialektis. Parapengikut
Imam Hanbal melakukan intimidasi terhadap Syekh Al-Muhasibi dan
menghalangi orang menghadiri pengajiannya. Karenanya Syekh Al-Muhasibi
terpaksa menyingkir sementara ke Bashrah. Belakangan salah seorang
muridnya, JUNAYD AL-BAGHDADI, menulis kitab yang membela gurunya. Syekh
Al-Muhasibi hidup dalam kemiskinan dan wafat di Baghdad pada tahun 243 H
atau 857 M. Kitab Ri’aya li Huquq Allah sangat berpengaruh terhadap
para Sufi selanjutnya. Imam ABU HAMID AL-GHAZALI bahkan secara khusus
dipengaruhi oleh kitab ini sebelum memutuskan menulis kitabnya yang
terkenal, Ihya Ulumuddin.
Ajaran dan Karamah
Syekh Al-Muhasibi menyebut ajarannya sebagai “ilmu tentang hati (qalb).”
Syekh Al-Muhasibi mengajarkan perjuangan tak kenal lelah melawan hawa
nafsu. Beliau juga menekankan pentingnya ridha. Namun beliau meletakkan
ridha sebagai bagian dari ahwal (keadaan ruhani), bukan sebagai bagian
dari maqam spiritual. Beliau juga banyak membicarakan soal riya’ dan
bahaya-bahayanya. Saslah satu nasihat terkenal beliau adalah “Barang
siapa menasihati batinnya dengan muraqabah (merasa selalu diawasi Allah)
dengan ikhlas, maka Allah akan menghiasi sisi lahiriahnya dengan
mujahadah (kesungguhan berjuang di jalan Allah) dan mengikuti sunnah
Rasulullah SAW.”
Syekh Muhasibi menjelaskan bahwa pusat ruhani jiwa manusia adalah sirr
(kesadaran terdalam), yang berbeda dengan nafs (jiwa-ego, nafsu).
Menurut beliau, meski nafsu adalah bagian penting dari manusia, namun
menuruti hawa nafsu akan melemahkan daya keruhanian manusia. Dengan
menggunakan istilah Al-Qur’an, Syekh Muhasibi menyebut nafsu rendah ini
sebagai nafs al-ammara (nafsu amarah, angkara-murka, yang menyeru pada
tindakan jahat). Cara utama untuk menjinakkan nafsu ini, menurut Syekh
Al-Muhasibi, adalah dengan muhasaba (menelaah keadaan jiwa secara
kritis). Melalui muhasabah, nafsu jahat ini akan berubah menjadi nafs
lawwamah (nafsu yang mencela-diri). Pada tahap ini seseorang menyadari
bahaya dari hawa nafsunya. Tetapi nafsu jenis ini masih belum mantap dan
kadang ego jahat muncul berkuasa. Pencelaan pada diri terkadang
menimbulkan sikap “benci-diri” dan bahkan keinginan untuk bunuh diri.
Karenanya dibutuhkan satu tahap lagi, yakni upaya melampaui ego dan hawa
nafsu, agar tercapai tahap nafs al-muthmaina (jiwa yang tenang). Dalam
tahap terakhir ini, jiwa akan damai sebab ia telah mengatasi ego manusia
dan dikuasai sepenuhnya oleh Allah.
Sebagai Sufi dan Wali Allah, Syekh Al-Muhasibi terkenal hidup wara’.
Bahkan sampai beliau wafat, beliau tak mengambil sesenpun warisan dari
ayahnya. Beliau selalu mendapat perlindungan dari Allah sehingga bisa
terhindar dari makanan yang haram atau subhat. Salah satu karamahnya
yang paling terkenal adalah apabila beliau hendak mengambil makanan yang
tidak jelas halal-haramnya, seketika itu pula jari-jemarinya mengejang
dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Jika hal ini terjadi, beliau tahu
bahwa makanan itu adalah haram. Bahkan meski kemudian beliau bisa
mengambil sesuap makanan itu, namun beliau tidak bisa menelannya.