Senin, 09 Januari 2012

Syech Al-Hasan Basri

Al-Hasan bin Yasar, juga dikenal dengan Al-Hasan bin Abi al-Hasan –Abu Sa’īd- lahir pada tahun 21 H., 2 tahun sebelum berakhirnya kekhalifahan ‘Umar , dari ayah dan ibu yang diboyong dari Sabiy Maisan ke Madinah.

Al-Hasan berkata, “Ayah dan ibu saya hamba sahaya seorang pria Bani Najjar. Ia menikahi seorang perempuan Bani Salamah, kemudian menjadikan ayah dan ibu sebagai maharnya. Salmiyyah kemudian memerdekakan kami.”

Menurut riwayat lain Ayahnya seorang hamba sahaya Zaid bin Tsabit al-Anshari, sedangkan ibunya seorang hamba sahaya Ummu Salamah, isteri Rasulullah r.

Yang jelas, ayah dan ibu al-Hasan adalah hamba sahaya, kemudian dibebaskan.

Ibunya membantu Ummu Salamah. Seringkali Ummu Salamah memintanya pergi untuk berbagai keperluan, sehingga sang ibu tidak bisa mengurus al-Hasan setiap hari. Ummu Salamah kemudian yang menyusui al-Hasan. Banyak pakar menilai bahwa hikmah dan ilmu yang dianugerahkan Allah kepadanya karena keberkahan penyusuan tersebut.

Al-Hasan tumbuh dan berkembang di Madinah, ia dapat menjumpai para sahabat dan mendengar banyak hal dari mereka.

Al-Hasan berwajah tampan. Bahkan inilah salah satu ciri khasnya. Al-Sya’biy –kepada orang yang hendak berkunjung ke Bashrah- berkata, “Bila kamu melihat orang yang paling tampan dan paling berwibawa di Bashrah itulah al-Hasan. Sampaikan salamku untuknya.”

Al-Hasan juga seorang pemberani. Muhallib bin Abi Shafrah -bila berperang melawan orang musyrik- selalu menempatkan al-Hasan di baris depan.

Muhammad bin Sa’d berkata, “Al-Hasan memiliki banyak kebajikan, ‘alim, tinggi derajatnya, seorang pakar fiqh, hujjah, dapat dipercaya, seorang ‘abid (banyak beribadah), luas wawasan ilmunya, fasih, dan tampan.”

Ia juga seorang orator yang sangat fasih, bahkan paling fasih pada masanya. [1]

Ilmu dan Nasehatnya

Al-Hasan leading dalam bidang keilmuan, sehingga ia dijuluki ‘Syeikh Bashrah.’

Ia seorang pakar dalam bidang fiqh, hadits dan tafsir. Pendapatnya banyak dimuat dalam banyak kitab fiqh dan tafsir. Hadits-hadits yang ia riwayatkan juga tercantum dalam banyak kitab hadits.

Ia seorang pemberi nasehat yang sangat handal. Nasehatnya sangat menggugah hati. Bisa jadi aspek inilah yang mengalahkan popularitasnya.

Kalau ia memberi nasehat, ia sendiri sudah menerapkan seruan dan nasehatnya kepada orang banyak. Itu sebabnya nasehat mendapat tempat terhormat di hati khlayak ramai.

Mālik bin Dīnār, ketika berbicara tentang orang-orang yang nasehatnya menggugah hati, berkata, “Benar, demi Allah. Saya tahu sebagian mereka: al-Haan, Sa’id bin Jubeir, dan yang lainnya. Dengan ucapan salah satu dari mereka, Allah menghidupkan hati sekelompok orang.”

Al-A’masy berkata, “al-Hasan al-Bashri sangat hafal dan menguasai al-hikmah, sehingga ia dapat berbicara tentangnya. Ketika nama beliau disebut-sebut di hadapan Abu Ja’far al-Baqir, ia berkata, “Itulah orang yang ucapannya mirip dengan ucapan para nabi.”[2]

Al-Ghazālī berkata, al-Hasan al-Bashri adalah orang yang ucapannya lebih mirip dengan ucapan para nabi, dan cara hidupnya mendekati cara hidup para sahabat.”[3]

Kata-kata yang tepat menggambarkan bagaimana al-Hasan memberi nasehat adalah apa yang dikemukakan Mathar al-Warrāq, “Bila ia memberi nasehat, seakan ia telah pernah berkunjung ke negeri akhirat, lalu memberi tahu apa yang ia saksikan di sana.”[4]

Perilaku dan Zuhudnya

Abu Burdah bin Abu Mūsā al-Asy’ari berkata, “Saya tidak melihat seseorang lebih mirip dengan sahabat –dalam perilakunya- selain dia.”[5]

Khalid bin Shafwan berkata, “Ketika saya bertemu dengan Maslamah bin Abdul Malik di Hairah, ia berkata, “Wahai Khalid, beritahu saya tentang al-Hasan, warga Bashrah!” Aku menjawab, “Semoga Allah memberi kebajikan kepada Amir al-Mu’minin. Hamba sampaikan kepada paduka informasi akurat. Karena hamba tetangganya, sering hadir di majlisnya, dan banyak tahu tentangnya. Ia paling jelas menggambarkan hal-hal yang samar. Ucapannya selalu diiringi dengan perbuatan. Ia sangat rajin dan tekun memperhatikan keadaan ummat. Bila ia menyuruh orang berbuat baik, ia paling tekun mengerjakannya. Bila ia melarang orang berbuat buruk, ia paling jauh meninggalkannya. Hamba melihatnya tidak bergantung kepada orang lain, tetapi hamba melihat orang-orang sangat membutuhkannya.” Maslamah bin ‘Abdul Malik berkata, “Cukup, Khalid. Bagaimana mungkin suatu kaum dapat tersesat sementara orang seperti ia ada diantara mereka.”[6]

Al-Hasan selalu dilanda kesedihan, karena ia banyak mengingat akhirat. Namun hal itu tidak menghantarkannya kepada suluk asing yang mulai menyebar pada masanya.

Makanannya biasa-biasa saja. Abu Hilāl berkata, “Ketika kami mengunjungi al-Hasan, seringkali kami mendapati periuknya mengeluarkan aroma masakan yang lezat.”[7]

Bahkan ia memberi perhatian yang lebih kepada buah-buahan, mungkin ia menganggapnya sebagai nawafil (suplemen penting) dalam makanan. Qatadah berkata, “Kami mengunjungi al-Hasan ketika ia sedang tidur. Di sekitar kepalanya terdapat keranjang. Kami menariknya, dan ternyata keranjang tersebut penuh roti dan buah-buahan. Kami pun menyantapnya. Lalu ia terbangun dan melihat kami. Ia terlihat senang dan tersenyum sambil mengutip ayat Qur’an, “Tidak ada halangan makan di rumah kawan-kawanmu.” (QS. Al-Nūr: 61).[8]

Ia juga pandai memilih busana yang serasi. Yunus berkata, “Di musim dingin, al-Hasan memakai Habirah buatan Yaman, baju (yang biasa dipakai para ulama) Kurdi, dan sorban hitam. Di musim panas ia memakai sarung terbuat dari kain linen, baju dan jas Habirah.[9]

Salam bin Miskin berkata, “Aku lihat pada diri al-Hasan jubah seperti emas yang sangat serasi dengan dirinya.[10]

Yang terlihat dengan jelas adalah bahwa ia memakai yang mudah untuknya. Ia pernah ditanya tentang pakaian favouritnya, ia menjawab, “Yang paling tebal, paling kasar, dan paling murah menurut ukuran orang banyak.”[11]

Ini tidak berarti bahwa setuju dengan sikap sebagian ahli ibadah cenderung memakai baju kasar. Ia tidak setuju dengan sikap itu. Pernah di hadapannya dipaparkan orang-orang yang biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba kasar. Ia berkata, “Mengapa mereka begitu? Mereka akan kehilangan satu sama lain. Sebaiknya mereka sembunyikan kebesaran dalam hati.”[12]

Perabotan rumahnya sangat sederhana. Mathar al-Warrāq berkata, “Kami pernah menjenguk al-Hasan waktu sakit. Di rumahnya tak ada perabotan rumah tangga yang berharga. Tak ada kasur, tak ada karpet, tak ada bantal, tak ada tikar. Yang ada hanya ranjang terbuat dari tikar tempat ia berbaring.”[13]

Gambaran ini mengingatkan kita kepada gambaran yang dikemukakan ‘Umar bin Khattab tentang Rasulullah r. ‘Umar berkata, “Aku menemui Rasulullah r. Aku melihat beliau sedang berbaring di atas sehelai tikar. Antara dirinya dengan kasur tikar tak ada apa-apa. Ada bekas tikar pada pinggang beliau. Beliau bertelekan kepada bantal yang isinya sabut kurma. Kemudian aku layangkan pandanganku ke sekitar kamar. Tidak ada barang berharga yang menyita perhatian….”[14]

Jadi, apa yang dilakukan oleh al-Hasan adalah mengikuti jejak Rasulullah r.

Para ulama sepakat memujinya, baik pada masanya maupun sesudahnya. Mereka menukil berita-berita tentangnya pada masa hidupnya.

Abu Bakar al-Hadzali berkata, “Al-Saffah berkata kepadaku, “Dengan cara apa al-Hasan meraih apa yang ia telah raih sekarang?” Aku menjawab, “Dengan menghafal al-Qur’an padahal usianya baru 12 tahun. Ia tidak beralih dari satu surat ke surat lainnya sampai ia mengerti tafsirnya, dan tentang apa surat itu diturunkan. Ia tidak pernah menilep satu dirham pun dalam niaga. Ia tidak memegang jabatan. Ia tidak pernah menyuruh seseorang berbuat baik kecuali ia sendiri melakukannya, dan tidak melarang orang berbuat buruk kecuali ia sendiri menjauhinya.”[15]

Wafatnya

Aban bin Mujbir berkata, “Ketika ajal menjemput al-Hasan, banyak sahabat menjenguknya dan berkta, “Wahai Abu Sa’id, beri kami bekal dengan beberapa patah kata yang bermanfaat untuk kami.”

Al-Hasan berkata, “Aku membekalimu dengan 3 patah kata, setelah itu tinggalkan aku sendiri. Semua yang dilarang kepadamu, jadilah orang yang paling menjauhinya. Semua yang diperintahkan kepadamu, jadilah orang yang paling menekuninya. Ketahuilah bahwa langkahmu hanya dua: langkah yang akan menguntungkanmu dan langkah yang akan mencelakakanmu. Perhatikanlah, kemana kalian akan pergi di pagi hari dan di sore hari.”[16]

Sālih al-Marī berkata, “Aku mengunjungi al-Hasan ketika ajal hendak menjemputnya. Ia banyak mengucapkan Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn. Anaknya berkata kepadanya, “Orang seperti ayah mengucap Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn karena akan meninggalkan kesenangan dunia?” Al-Hasan menjawab, “Wahai anakku, aku mengucapkan Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn karena menyesali diriku yang tidak pernah diberi musibah seperti ini.”[17]

Al-Hasan wafat pada malam Jum’at tanggal 1 Rajab 110 H. Menurut puteranya, ia wafat pada usia kurang lebih 88 tahun.

Ribuan orang melayat jenazahnya. Ia disalati setelah salat Jum’at di Bashrah. Ribuan orang berdesak-desakan mengantarkan jenazahnya ke pemakaman.

Humaid al-Thawīl berkata, “Kami membawa jenazahnya setelah salat Jum’at dan lalu menguburkannya. Semua orang turut serta mengantarkan jenazahnya, sampai-sampai tidak ada salat berjama’ah ‘Asar di masjid. Aku tidak pernah tahu jama’ah salat ‘Asar ditinggalkan sejak awal masa Islam kecuali pada hari itu. Karena semua orang mengantarkan jenazahnya, sampai-sampai di masjid tak ada satu orang pun menunaikan salat ‘Asar.”[18]

Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada al-Hasan, dan menempatkannya di surga-Nya yang luas. Āmīn.



[1] Biografi ini diringkas dari kitab Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/563 dan seterusnya, dan dari kitab al-Bidāyah, 9/266 dan seterusnya.

[2] Hilyah al-Auliyā’, 2/147; Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/585.

[3] Ihyā’ ‘Ulum al-Dīn, 1/77.

[4] Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/573.

[5] Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/572.

[6] Hilyah al-Auliyā’, 2/147

[7] Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/584.

[8] Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/577.

[9] Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/575.

[10] Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/575.

[11] Ibnu al-Jauzī, al-Hasan al-Bashri, 77.

[12] ‘Uyūn al-Akhbār, 2/372.

[13] Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/582.

[14] Hr. Bukhari (5191) dan Muslim (1479).

[15] Ibnu ‘Imād al-Hanbali, Syadzarāt al-Dzahab, 1/137.

[16] Hilyah al-Auliyā’, 2/154.

[17] ‘Uyūn al-Akhbār, 3/167.

[18] Siyar a’lam al-Nubalā’, 4/587; Wafayāt al-A’yān, 2/72.

Jumat, 23 Desember 2011

Syech Al-Muhasibi

Beliau adalah Syekh Sufi dari Baghdad yang terkenal pada zamannya, yang diakui sebagai “Bapak Psikologi dan Etika Sufi” yang menyatukan ilmu syari’at dan hakikat.
 Beliau tersohor berkat teorinya tentang hakikat jiwa manusia. Julukannya, “Al-Muhasibi” mengacu pada amalan muhasaba yang dilakoninya, yakni melakukan perhitungan dan pemeriksaan atas segala tindakan, motif dan keadaan spiritual dirinya sendiri. Beliau adalah salah satu perumus teori etika Sufistik yang amat teliti. Teori jiwanya ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Riaya li-Huquq Allah wa al-Qiyam Biha.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah al-Harits ibn Asad al-Bashri al-Muhasibi. Beliau lahir di Bashrah pada 165 H atau 781 M. Sewaktu kecil beliau pindah ke Baghdad. Beliau mendalami ilmu hadits, ilmu kalam, tafsir dan bergaul dengan ulama-ulama besar pada zaman itu. Sebagai ahli hadits beliau menyusun kitab hadits, namun tulisan beliau di bidang ini dikritik keras oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Imam Hanbal mengkritiknya karena Syekh Al-Muhasibi banyak menggunakan hadits dengan perawi yang lemah, dan karena Syekh Al-Muhasibi juga mendukung penggunaan penalaran dialektis. Parapengikut Imam Hanbal melakukan intimidasi terhadap Syekh Al-Muhasibi dan menghalangi orang menghadiri pengajiannya. Karenanya Syekh Al-Muhasibi terpaksa menyingkir sementara ke Bashrah. Belakangan salah seorang muridnya, JUNAYD AL-BAGHDADI, menulis kitab yang membela gurunya. Syekh Al-Muhasibi hidup dalam kemiskinan dan wafat di Baghdad pada tahun 243 H atau 857 M. Kitab Ri’aya li Huquq Allah sangat berpengaruh terhadap para Sufi selanjutnya. Imam ABU HAMID AL-GHAZALI bahkan secara khusus dipengaruhi oleh kitab ini sebelum memutuskan menulis kitabnya yang terkenal, Ihya Ulumuddin.
Ajaran dan Karamah
Syekh Al-Muhasibi menyebut ajarannya sebagai “ilmu tentang hati (qalb).” Syekh Al-Muhasibi mengajarkan perjuangan tak kenal lelah melawan hawa nafsu. Beliau juga menekankan pentingnya ridha. Namun beliau meletakkan ridha sebagai bagian dari ahwal (keadaan ruhani), bukan sebagai bagian dari maqam spiritual. Beliau juga banyak membicarakan soal riya’ dan bahaya-bahayanya. Saslah satu nasihat terkenal beliau adalah “Barang siapa menasihati batinnya dengan muraqabah (merasa selalu diawasi Allah) dengan ikhlas, maka Allah akan menghiasi sisi lahiriahnya dengan mujahadah (kesungguhan berjuang di jalan Allah) dan mengikuti sunnah Rasulullah SAW.”
Syekh Muhasibi menjelaskan bahwa pusat ruhani jiwa manusia adalah sirr (kesadaran terdalam), yang berbeda dengan nafs (jiwa-ego, nafsu). Menurut beliau, meski nafsu adalah bagian penting dari manusia, namun menuruti hawa nafsu akan melemahkan daya keruhanian manusia. Dengan menggunakan istilah Al-Qur’an, Syekh Muhasibi menyebut nafsu rendah ini sebagai nafs al-ammara (nafsu amarah, angkara-murka, yang menyeru pada tindakan jahat). Cara utama untuk menjinakkan nafsu ini, menurut Syekh Al-Muhasibi, adalah dengan muhasaba (menelaah keadaan jiwa secara kritis). Melalui muhasabah, nafsu jahat ini akan berubah menjadi nafs lawwamah (nafsu yang mencela-diri). Pada tahap ini seseorang menyadari bahaya dari hawa nafsunya. Tetapi nafsu jenis ini masih belum mantap dan kadang ego jahat muncul berkuasa. Pencelaan pada diri terkadang menimbulkan sikap “benci-diri” dan bahkan keinginan untuk bunuh diri. Karenanya dibutuhkan satu tahap lagi, yakni upaya melampaui ego dan hawa nafsu, agar tercapai tahap nafs al-muthmaina (jiwa yang tenang). Dalam tahap terakhir ini, jiwa akan damai sebab ia telah mengatasi ego manusia dan dikuasai sepenuhnya oleh Allah.
Sebagai Sufi dan Wali Allah, Syekh Al-Muhasibi terkenal hidup wara’. Bahkan sampai beliau wafat, beliau tak mengambil sesenpun warisan dari ayahnya. Beliau selalu mendapat perlindungan dari Allah sehingga bisa terhindar dari makanan yang haram atau subhat. Salah satu karamahnya yang paling terkenal adalah apabila beliau hendak mengambil makanan yang tidak jelas halal-haramnya, seketika itu pula jari-jemarinya mengejang dan tidak bisa digerakkan sama sekali. Jika hal ini terjadi, beliau tahu bahwa makanan itu adalah haram. Bahkan meski kemudian beliau bisa mengambil sesuap makanan itu, namun beliau tidak bisa menelannya.